Prolog
Sekitar tiga bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 Juni 2016, saya mendapatkan keputusan dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan bahwa saya dinyatakan sebagai salah satu penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia. Apakah saya merasa senang mendengar berita tersebut? Pasti. Akan tetapi, terdapat pelajaran yang lebih berharga di balik nilai sebuah beasiswa yang berarti layaknya hasil sebuah kerja keras. Pelajaran tersebut ingin saya bagikan melalui tulisan ini.
---
---
Pilihan, Usaha, dan Hasil
Semua dimulai ketika saya telah bekerja hampir dua tahun semenjak lulus kuliah. Setelah melakukan berbagai pertimbangan dan perenungan, saya memutuskan untuk mengejar keinginan saya untuk kuliah S2 dan berburu beasiswa untuk dapat membiayainya. Oleh karena itu, saya lalu melakukan berbagai riset (mencari informasi secara online dan dengan bertanya kepada teman-teman), mempersiapkan diri, dan akhirnya memilih untuk mendaftar ke program Beasiswa Pendidikan Indonesia, salah satu program beasiswa yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan - Kementerian Keuangan RI.
Begitu besar
harapan saya agar mendapatkan beasiswa ini, apalagi sebelumnya saya telah menghabiskan
waktu satu tahun untuk berdebat dengan diri sendiri, berusaha mengalahkan ego
dan rasa takut akan kegagalan – bahkan sebelum saya mencoba. Maka, saya begitu
mantap mendaftarkan diri saya ke batch pertama
seleksi beasiswa LPDP di tahun 2016.
Ternyata hasil seleksi
tersebut jauh dari apa yang saya harapkan. Ya, saya tidak lolos seleksi. Saya masih ingat
dengan begitu jelas bagaimana saya mempersiapkan diri untuk seleksi substantif
yang merupakan seleksi akhir di batch
pertama tersebut. Seleksi substantif LPDP terdiri dari tiga jenis seleksi:
seleksi penulisan esai di tempat (on the
spot essay), Leaderless Group
Discussion, dan wawancara. Pengalaman tersebut merupakan yang pertama bagi
saya; saya belum pernah mengikuti seleksi penerimaan beasiswa apapun sebelumnya.
Jadi, proses tersebut begitu menegangkan dan membuat saya gugup.
Sayangnya, kegugupan tersebut lah yang membuat saya
tidak menjadi diri saya sendiri saat menghadapi seleksi. Saat mengerjakan esai dan
mengikuti Leaderless Group Discussion
performa saya jauh dari maksimal. Ditambah lagi, pada saat wawancara, kegugupan
saya membuat saya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tim seleksi dengan
tenang. Alhasil, saya tidak dapat menyampaikan latar belakang, tujuan, dan rencana
studi saya dengan baik. Firasat saya yang kurang baik terhadap seleksi itu pun
terbukti benar saat hasil seleksi diumumkan melalui surat elektronik. Tulisan
‘TIDAK LULUS’ berwarna merah terang dan ukuran yang begitu besar memberikan
perasaan yang terlampau mirip dengan mendapatkan nilai jeblok saat ujian
sekolah, tetapi sebenarnya lebih serupa lagi dengan perasaan saat mengalami patah
hati.
Ditambah lagi, perasaan sedih karena ketidaklolosan
saya tidak hanya disebabkan oleh perasaan gagal, tetapi juga karena saya merasa
mengecewakan orang-orang yang telah percaya dan mendukung saya. Ketika orang tua saya
bertanya mengenai hasil seleksi tersebut dengan penuh harapan,
dengan berat hati saya menjawab bahwa saya belum lolos seleksi di tahap
ini.
Tidak Familiar dengan Beasiswa Pemerintah
Sebagai informasi, keluarga saya adalah keluarga etnis
Tionghoa yang tidak begitu akrab dengan beasiswa pemerintah, begitu pula dengan
kerabat-kerabat saya. Keinginan saya untuk bersekolah S2 dengan beasiswa
pemerintah sempat memunculkan berbagai keresahan. Sempat pula orang tua saya, yang
adalah pegawai swasta dengan latar belakang pendidikan sarjana S1, beranggapan
bahwa lebih baik saya mengejar tangga karir dengan bekerja di perusahaan yang
besar dan stabil daripada kembali bersekolah. Namun, setelah diskusi dan
penjelasan yang panjang, pada akhirnya kedua orang tua saya begitu mendukung
keinginan saya ini. Kemudian, beritanya pun tersebar kepada para kerabat saya di
keluarga besar. Saya berusaha memaklumi, karena keluarga besar saya memiliki
kultur keluarga yang senang berbagi informasi ‘update’ mengenai keluarga
masing-masing, apalagi yang terkait dengan perkembangan anak-anak. Walaupun
bukan harapan saya agar informasi ini menyebar viral, tentunya dukungan-dukungan
yang ada tetap saya jadikan dorongan dan sumber motivasi.
"Kalau kamu dapat beasiswanya, kamu nggak dikontrak untuk bekerja di instansi pemerintah kan?" dengan tatapan bergidik ngeri. Ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering saya dapatkan dari orang lain saat tahu bahwa saya mendaftar ke program beasiswa yang dikelola pemerintah.
Sayangnya, karena begitu banyak kerabat yang
mengetahui mengenai proses seleksi beasiswa yang saya ikuti ini, tentu mereka
juga akan menanyakan hasilnya. Saya langsung memprediksi bahwa mama saya akan
dihujani pertanyaan mengenai hasil seleksi yang telah saya lewati. “Gimana, si Janet dapat nggak beasiswanya?”
Banyak yang bilang kegagalan adalah kesuksesan yang
tertunda, tetapi saya tidak dapat memungkiri betapa harapan saya hancur
mengetahui saya tidak lolos seleksi. Perasaan ditolak tidak akan pernah menjadi
perasaan yang menyenangkan, dan kadang seolah-olah hidup enggan untuk
memberikan hasil yang setimpal dengan kerja keras dan pengorbanan yang kita
lakukan. Maka, menghadapi kegagalan tersebut, saya hanya berharap orang-orang
yang mengetahuinya hanya akan memberikan saya dukungan yang lebih besar dan
teriakan semangat yang lebih keras.
Gagal: Di antara Meritokrasi dan Diskriminasi
Banyak yang bilang kegagalan adalah kesuksesan yang
tertunda, tetapi saya tidak dapat memungkiri betapa harapan saya hancur
mengetahui saya tidak lolos seleksi. Perasaan ditolak tidak akan pernah menjadi
perasaan yang menyenangkan, dan kadang seolah-olah hidup enggan untuk
memberikan hasil yang setimpal dengan kerja keras dan pengorbanan yang kita
lakukan. Maka, menghadapi kegagalan tersebut, saya hanya berharap orang-orang
yang mengetahuinya hanya akan memberikan saya dukungan yang lebih besar dan
teriakan semangat yang lebih keras.
Mama saya yang mengerti hal tersebut, tidak pernah
lupa memberitahu saya reaksi kerabat-kerabat saya yang satu persatu mengetahui
hasil seleksi tersebut dari sang mama. Ada yang kasihan, ada yang terus
menyemangati. Saya merekam satu persatu pesan-pesannya, merasa berterima kasih.
Sampai suatu hari, di antara sejumlah reaksi yang saya terima, datang sebuah reaksi yang begitu menampar saya.
"Diskriminasi banget sih!" ujar salah satu kerabat saya begitu mengetahui saya tidak lolos.
"Diskriminasi? Diskriminasi apa?" pikir
saya, mengernyitkan dahi dengan intensnya.
Duka akan kegagalan saya seketika memudar. Saat itu,
yang kemudian justru membuat saya
terganggu bukan lagi rasa bersalah saya karena telah memupuskan harapan orang lain, melainkan reaksi berupa prasangka
buruk yang berusaha memberikan justifikasi bahwa ketidaklolosan ini adalah hasil
tindakan diskriminatif. Ya, saya dianggap tidak lolos karena saya berasal
dari etnis Tionghoa yang merupakan kaum minoritas di Indonesia.
Saya yang awalnya merasa begitu kecewa karena tidak
lolos seleksi, menjadi jauh lebih kecewa karena kegagalan saya dianggap lumrah.
Ketika reaksi yang saya ekspektasikan adalah "Wah, nggak apa-apa. Coba
lagi ya! Lebih semangat mempersiapkan seleksi selanjutnya ya. Kamu pasti
bisa!" yang saya dapatkan adalah "Wah, wajar itu. Pantas saja kamu
nggak mendapatkan beasiswa, namanya juga beasiswa pemerintah, ya pasti yang
diberikan kebanyakan anak-anak pribumi saja."
Rasa geram dan sedih pun bercampur menjadi satu.
Pandangan dan prasangka mereka terhadap negeri ini begitu buruknya,
sampai-sampai sebuah lembaga negara yang profesional pun diragukan
profesionalitasnya.
Menurut saya, pemikiran seperti ini keliru.
Subjektifitas pasti ada dalam seleksi manapun, tidak
hanya satu beasiswa saja, tetapi beasiswa manapun. Ini juga berlaku
di dalam seleksi masuk kerja. Mengapa? Karena proses seleksi
tidak cukup hanya melihat prestasi akademis maupun kemampuan yang dapat diukur
secara kuantitatif. Seleksi wawancara yang memiliki bobot terbesar pun menjadi
sesuatu yang lumrah, karena hanya lewat seleksi wawancara lah tim seleksi dapat
berkomunikasi langsung dan mengetahui nilai-nilai maupun tujuan yang dipegang oleh
peserta seleksi.
Hal-hal
tersebut menjadi tolak ukur terbesar keberhasilan dalam suatu seleksi karena
seleksi adalah sebuah proses perekrutan calon anggota ke dalam suatu kelompok,
badan, atau organisasi yang membutuhkan keseragaman visi dan misi pesertanya.
“Saya berpikir bahwa saya tidak lolos karena belum dapat memenuhi kriteria, tapi tidak pernah sedikitpun saya menarik kesimpulan bahwa kriteria tersebut adalah menjadi seorang pribumi.”
Saat itu, ingin rasanya saya membantah dengan berkata:
"Bukan. Salah. Saya tidak lolos seleksi bukan karena saya adalah
seorang keturunan Tionghoa seperti yang kalian pikirkan, melainkan karena
saya tidak mempersiapkan diri dengan baik.", tapi tentu akan sia-sia kalau
tidak dibuktikan melalui tindakan. Maka, saat pendaftaran tahap kedua seleksi LPDP di tahun 2016 dibuka, saya
berusaha mempersiapkan diri lebih baik dan kembali mendaftar. Saya tidak lagi
hanya bersemangat lebih besar untuk meraih kesempatan belajar dan membangun kualitas
diri yang kelak dapat menyumbangkan kontribusi bagi Indonesia, tetapi juga untuk
membuktikan bahwa prasangka tersebut salah besar.
Tepat pada tanggal 10 Juni 2016, saya berhasil membuktikannya.
Saya lolos seleksi substantif yang merupakan seleksi terakhir program Beasiswa
Pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan - Kementerian
Keuangan RI. Saya lolos.
Dan terakhir kali saya cek, saya masih keturunan Tionghoa tuh. *badumtsss*
Saya memang keturunan Tionghoa, tapi saya orang
Indonesia, lahir dan dibesarkan di tanah air ini. Saya percaya, beasiswa yang dipercayakan
kepada saya ini hanyalah bentuk dari kemenangan kecil terhadap satu dari
banyaknya stigma sosial yang sepatutnya diberantas. Harapan saya, stigma
negatif pemerintah Indonesia akan semakin memudar, seiring dengan bertambahnya
instansi pemerintahan yang menjunjung tinggi integritas, profesionalitas,
sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan.
“Saya percaya, beasiswa yang dipercayakan kepada saya ini hanyalah bentuk dari kemenangan kecil terhadap satu dari banyaknya stigma sosial yang sepatutnya diberantas.”
---
Epilog
"Ci! Ci! Cina! Cina!" sekelompok remaja laki-laki dari seberang jalan berteriak-teriak sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk saya dan dua orang teman saya yang kebetulan juga keturunan Tionghoa, di perjalanan menuju sekolah. Bagi mereka hal itu lucu -- bagi saya, itu sangat menakutkan.
Sebenarnya saya memahami bahwa mungkin setiap keturunan Tionghoa di Indonesia memiliki setidaknya satu pengalaman yang buruk dengan adanya diskriminasi terhadap etnis, budaya, maupun agama. Saya pun tidak mudah mengabaikan panggilan-panggilan iseng yang dianggap harmless tapi menurut saya mengintimidasi. Maksud saya, tidak mungkin mereka paham bahwa hal kecil seperti itu membuat saya ngilu mengingat cerita kerusuhan di tahun 1998, dimana banyak wanita keturunan Tionghoa menjadi menjadi korban pemerkosaan.
Jadi, saya tidak akan memaksa para pembaca, khususnya yang pernah mengalami diskriminasi ataupun bullying dalam bentuk apapun di masa lampau, untuk melupakan begitu saja apa yang telah terjadi. Yang terjadi memang sudah terjadi. Tetapi negeri ini hanya akan semakin maju apabila kita berpikiran terbuka dan pelan-pelan meninggalkan prasangka buruk terhadap orang-orang yang memiliki perbedaan dengan kita. Jika seseorang melakukan hal yang tidak adil kepada orang lain, itu kesalahannya, bukan kesalahan sukunya, etnisnya, agamanya, atau apapun golongan lainnya yang cenderung digeneralisasikan.
Bayangkan, tanpa ribuan penilaian keliru
yang kita buat, berapa juta musuh yang dapat seketika berubah menjadi sahabat?
"Our privilege to make personal judgment based on our
experiences should never stop us from being
open-minded and kind to everyone.” – Janet Valentina
Until next post,
Janet.
Inspiratif mbak Janet.
ReplyDeleteTerima kasih banyak mba Arnita :D
DeleteWah keren topiknya, ja..
ReplyDeleteSukses yaa program beasiswa nyaa.. ��
Thanks ya Aan! :D
Deleteinspiratif :) semoga menginspirasi banyak orang
ReplyDeleteThanks ya!
DeleteHi Janet, thx buat sharingnya. Oh ya, jd kamu PK brp ya? Saya kebetulan PK 40, tujuan ke UK
ReplyDeleteHalo Christopher, sama2. Thanks for reading ya! Saya PK-79.
DeleteWah baru baca gua...
ReplyDeleteKeren tulisannya...
What a good experience, mba! Sangat menginspirasi. Semoga sukses S2-ny! :))
ReplyDeleteTerima kasih banyak!
DeleteDayyymnn, LPDP to UK. You're goood!
ReplyDeleteThanks for reading, Ruby! Such an honor!
DeleteKeren keren....
ReplyDeleteInpiratif...